Makalah Ulumul Hadits Pembagian Hadits

MAKALAH ULUMUL HADITS

PEMBAGIAN HADITS

STAIN Metro Lampung

Dosen Pembimbing:

Dian Ekawati, M.Pd

 

Disusun oleh:

Joni Kawijaya

M. Shidiq Nurcahyo

Resty Cahyanti

Nurma Yulia

Ratna Misgianti

Pendidikan Bahasa Arab

 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

STAIN JURAI SIWO METRO

2011 / 2012

BAB I

PENDAHULUAN

  1. A.    Latar Belakang

Kitab-kitab hadis yang beredar di tengah-tengah masyarakat dan dijadikan pegangan oleh umat Islam dalam hubungannya dengan hadits sebagai sumber ajaran Islam adalah kitab-kitab yang disusun oleh para penyusunnya setelah lama Nabi wafat. Dalam jarak waktu antara kewafatan Nabi dan penulisan kitab-kitab hadits tersebut telah terjadi berbagai hal yang dapat menjadikan riwayat hadits tersebut menyalahi apa yang sebenarnya berasal dari Nabi.  Baik dari aspek kemurniannya dan keasliannya.

Dengan demikian, untuk mengetahui apakah riwayat berbagai hadits yang terhimpun dalam kitab-kitab hadits tersebut dapat dijadikan sebagai hujjah ataukah tidak, terlebih dahulu perlu dilakukan penelitian. Kegiatan penelitian hadits tidak hanya ditujukan kepada apa yang menjadi materi berita dalam hadits itu saja, yang biasa dikenal dengan masalah matan hadits, tetapi juga kepada berbagai hal yang berhubungan dengan periwayatannya, dalam hal ini sanadnya, yakni rangkaian para periwayat yang menyampaikan matan hadis kepada kita.

Keberadaan perawi hadits sangat menentukan kualitas hadits, baik kualitas sanad maupun kualitas matan hadits. Selama riwayat-riwayat ini membutuhkan penelitian dan kajian mendalam untuk mengetahui mana yang dapat diterima dan mana yang ditolak, maka mutlak diperlukan adanya kaidah-kaidah dan patokan sebagai acuan melakukan studi kritik Hadits.

  1. B.     Rumusan Masalah
    1. Mengapa harus di adakanya penelitian suatu hadits ?
    2. Langkah apa saja yang harus di lakukan dalam meneliti suatu hadits ?
  1. C.    Tujuan
    1. Menjadikan kita kritis dalam pengambilan hukum yang menyangkut tentang hadits.
    2. Berpedoman dengan hadits yang benar-benar dapat di terima keberadaanya.
    3. Dapat membedakan hadits-hadits dari segi kebenaran dan kehujjahanya.

BAB II

PEMBAHASAN

 

       I.            Pembagian Hadits Berdasarkan Kuantitas Rawi

Kuantitas hadits disini yaitu dari segi jumlah orang yang meriwayatkan suatu hadits atau dari segi jumlah sanadnya. Jumhur (mayoritas) ulama membagi hadis secara garis besar menjadi dua macam, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad, disamping pembagian lain yang diikuti oleh sebagian para ulama, yaitu pembagian menjadi tiga macam yaitu: hadits mutawatir,  hadits masyhur (hadis mustafidh) dan hadits ahad.

  1. Hadis Mutawatir

1)      Pengertian Hadits Mutawatir

Mutawatir secara etimology berasal dari kata tawatara yang berarti beruntun, atau mutatabi, yakni beriring-iringan antara satu dengan lainnya tanpa ada jarak. Sedangkan secara terminology mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang yang menurut akal dan kebiasaan mustahil sepakat untuk berdusta. Mulai dari perawi yang pertama hingga terakhir memiliki kesamaan sifat, artinya sama-sama tsiqoh. Sementara menurut Nur Ad-Din, hadist mutawatir adalah hadits yang di riwayatkan oleh orang banyak yang terhindar dari kesepakatan mereka untuk berdusta sejak awal sanad sampai akhir sanad dengan didasarkan pada panca. Sanad mereka adalah pancaindra.

Berdasarkan definisinya ada 4 kriteria hadits mutawatir, yaitu sebagai berikut:

  1. a.      Diriwayatkan sejumlah orang banyak

Para perawi hadis mutawatir syaratnya harus berjumlah banyak. Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah banyak pada para perawi hadis tersebut dan tidak ada pembatasan yang tetap. Di antara mereka berpendapat 4 orang, 5 orang, 10 orang, 40 orang, 70 orang bahkan ada yang berpendapat 300 orang lebih. Namun, pendapat yang terpilih minimal 10 orang seperti pendapat Al-Ishthikhari.

  1. b.      Adanya jumlah banyak pada seluruh tingkatan sanad

Jumlah banyak orang pada setiap tingkatan (thabaqat) sanad dari awal sampai akhir sanad. Jika jumlah banyak tersebut hanya pada sebagian sanad saja maka tidak dinamakan mutawatir, tetapi dinamakan ahad atau wahid.

  1. c.       Mustahil bersepakat bohong

Di antara alasan pengingkar sunnah dalam penolakan mutawatir adalah pencapaian jumlah banyak tidak menjamin dihukumi mutawatir karena dimungkinkan adanya kesepakatan berbohong. Hal ini karena mereka menganalogikan dengan realita dunia modern dan kejujurannya yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, apalagi jika ditunggangi masalah politik dan lain-lain. Demikian halnya belum dikatakan mutawatir karena sekalipun sudah mencapai jumlah banyak tetapi masih memungkinkan untuk berkosensus berbohong.

  1. d.      Sandaran berita itu pada pancaindra

Maksud sandaran pancaindra adalah berita itu didengar dengan telinga atau dilihat dengan mata dan disentuh dengan kulit, tidak disandarkan pada logika atau akal seperti tentang sifat barunya alam, berdasarkan kaedah logika; Setiap yang baru itu berubah (Kullu hadis in mutghayyirun). Alam berubah (al-alamu mutaghayyirun). Jika demikian, Alam adalah baru (al-alamu hadis un). Baru artinya sesuatu yang diciptakan bukan wujud dengan sendirinya. Jika berita hadits itu logis, maka tidak mutawatir.

2)      Syarat-syarat Hadits Mutawatir

Para ulama’ berbeda pendapat dalam membicarakan hadits mutawatir. Menurut ulama’ mutaakhirin dan ahli’ usul suatu hadits dapat ditetapkan sebagai hadits mutawatir bila memenuhi syarat-ayarat sebagai berikut:

a)      Hadits mutawatir harus di riwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang membawa keyakinan bahwa mereka itu tidak sepakat untuk berbohong. Mengenai masalah ini para ulama’ perbeda pendapat ada yang menetapkan jumlah tertentu dan ada yang tidak menetapkannya. Menurut ulama’ yang tidak mensyaratkan jumlah tertententu mereka menegaskan bahwa yang penting dengan jumlah itu, dapat memberikan keyakinan terhadap apa yang diberitakan dan mestahil mereka sepakat untuk berdusta. Sedangkan menurut ulama’ yang menetapkan jumlah tertentu mereka masih berselisih mengenai jumlahnya, ada yang mengatakan harus empat rawi, sebagian lagi ada yang mengatakan bahwa jumlahnya minimal lima orang, seperti tertera dalam ayat-ayat yang menerangkan mengenai mula’anah.

Ada yang minimal sepuluh orang, sebab di bawah sepuluh masih dianggap satuan atau mufrad, belum dinamakan jama’, ada yang minimal dua belas orang, ada yang dua puluh orang, ada juga yang mengatakan minimal empat puluh orang, ada yang tujuh puluh orang, dan yang terakhir berpendapat minimal tiga ratus tiga belas orang laki-laki dan dua orang perempuan, seperti jumlah pasukan muslim pada waktu Perang Badar. Kemudian menurut As-Syuyuti bahwa hadtis yang layak disebut mutawatir yaitu paling rendah diriwayatkan oleh sepuluh orang. Dan pendapat inilah yang diikuti oleh banyak ahli hadits.

b)      Bedasarkan tanggapan panca indra, yakni bahwa berita yang mereka sampaikan harus benar-benar merupakan hasil pendengaran atau penglihatan sendiri.

c)      Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit. Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H)

Para ulama sepakat bahwa hadits mutawatir adalah hujjah bagi kaum muslim, maka dari itu wajib hukumnya untuk mengamalkan kandungan-kandungan yang ada pada hadits mutawatir.

3)      Pembagian Hadits Mutawatir

Sebagian jumhur ulama menyebutkan Hadits Mutawatir ada 3 yaitu:

  1. a.      Hadits Mutawatir Lafdhi

Hadits mutawatir lafdhi adalah mutawatir dengan susunan redaksi yang persis sama. Dengan demikian garis besar serta perincian maknanya tentu sama pula, juga dipandang sebagai hadis mutawatir lafdhi, hadis mutawatir dengan susunan sedikit berbeda, karena sebagian digunakan kata-kata muradifnya (kata-kata yang berbeda tetapi jelas sama makna atau maksudnya). Sehingga garis besar dan perincian makna hadits itu tetap sama. Contoh hadits mutawatir lafdhi yang artinya:

“Rasulullah SAW, bersabda: “Siapa yang sengaja berdusta terhadapku, maka hendaklah dia menduduki tempat duduknya dalam neraka”. (Hadis Riwayat Bukhari).

Hadits tersebut menurut keterangan Abu Bakar al-Bazzar, diriwayatkan oleh empat puluh orang sahabat, bahkan menurut keterangan ulama lain, ada enam puluh orang sahabat, Rasul yang meriwayatkan hadis itu dengan redaksi yang sama.

  1. b.      Hadits Mutawatir Maknawi

Hadits mutawatir maknawi adalah hadits mutawatir dengan makna umum yang sama, walaupun berbeda redaksinya dan berbeda perincian maknanya. Dengan kata lain, hadits-hadits yang banyak itu, kendati berbeda redaksi dan perincian maknanya, menyatu kepada makna umum yang sama. Jumlah hadits-hadits yang termasuk hadits mutawatir maknawi jauh lebih banyak dari hadits-hadits yang termasuk hadits mutawatir lafdhi. Contoh hadits mutawatir maknawi yang artinya:

“Rasulullah SAW pada waktu berdoa tidak mengangkat kedua tangannya begitu tinggi sehingga terlihat kedua ketiaknya yang putih, kecuali pada waktu berdoa memohon hujan”. (Hadis Riwayat Mutafaq’ Alaihi)

  1. c.       Hadits Mutawatir ‘Amali

Hadits mutawatir ‘amali adalah hadits mutawatir yang menyangkut perbuatan Rasulullah SAW, yang disaksikan dan ditiru tanpa perbedaan oleh orang banyak, untuk kemudian juga dicontoh dan diperbuat tanpa perbedaan oleh orang banyak pada generasi-generasi berikutnya. Contoh : Hadits-hadits Nabi tentang waktu shalat, tentang jumlah rakaat shalat wajib, adanya shalat ‘ied, adanya shalat jenazah, dan sebagainya. Segala macam amal ibadah yang dipraktekkan secara sama oleh umat Islam atau disepakati oleh para ulama, termasuk dalam kelompok hadits mutawatir ‘amali. Seperti hadits mutawatir maknawi, jumlah hadits mutawatir ‘amali cukup banyak. Diantaranya, shalat janazah, shalat ‘ied, dan kadar zakat harta.

4)      Kedudukan Hadits Mutawatir

Seperti telah disinggung, hadits-hadits yang termasuk kelompok hadits mutawatir adalah hadits-hadits yang pasti (qath’i atau maqth’u) berasal dari Rasulullah SAW. Para ulama menegaskan bahwa hadits mutawatir membuahkan “ilmu qath’i” (pengetahuan yang pasti), yakni pengetahuan yang pasti bahwa perkataan, perbuatan atau persetujuan berasal dari Rasulullah SAW. Para ulama juga biasa menegaskan bahwa hadits mutawatir membuahkan “ilmu dharuri” (pengetahuan yang sangat mendesak untuk diyakini atau dipastikan kebenarannya), yakni pengetahuan yang tidak dapat tidak harus diterima bahwa perkataan, perbuatan, atau persetujuan yang disampaikan oleh hadits itu benar-benar perkataan, perbuatan, atau persetujuan Rasulullah SAW.

Kedudukan hadits mutawatir sebagai sumber ajaran Islam tinggi sekali. Menolak hadits mutawatir sebagai sumber ajaran Islam sama halnya dengan menolak kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah. Kedudukan hadits mutawatir sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi dari kedudukan hadis ahad.

  1. Hadits Ahad

1)      Pengertian hadits ahad

Ahad menurut bahasa adalah kata jamak dari wahid atau ahad. Bila wahid atau ahad berarti satu, maka aahaad, sebagai jamaknya, berarti satu-satu. Hadits ahad menurut bahasa berarti hadits satu-satu. Sebagaimana halnya dengan pengertian hadits mutawatir, maka pengertian hadits ahad,  menurut bahasa terasa belum jelas. Oleh karena itu, ada batasan yang diberikan oleh ulama batasan hadits ahad antara lain berbunyi, yaitu hadits yang para rawinya tidak mencapai jumlah rawi hadist mutawatir, baik rawinya itu satu, dua, tiga, empat, lima atau seterusnya, tetapi jumlahnya tidak memberi pengertian bahwa hadits dengan jumlah rawi tersebut masuk dalam kelompok hadist mutawatir, atau dengan kata lain Hadits Ahad adalah hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir.

2)      Pembagian hadits ahad

a)      Hadits Masyhur (Hadits Mustafidah)

Masyhur menurut bahasa berarti yang sudah tersebar atau yang sudah populer. Mustafidah menurut bahasa juga berarti yang telah tersebar atau tersiar. Jadi menurut bahasa hadits masyhur dan hadits mustafidah sama-sama berarti hadist yang sudah tersebar atau tersiar. Atas dasar kesamaan dalam pengertian bahasa para ulama juga memandang hadist masyhur dan hadits mustafidah sama dalam pengartian istilah ilmu hadist yaitu, hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih, dan beliau mencapai derajat hadits mutawatir. Sedangkan batasan tersebut, jumlah rawi hadits masyhur (hadits mustafidah) pada setiap tingkatan tidak kurang dari tiga orang, dan bila lebih dari tiga orang, maka jumlah itu belum mencapai jumlah rawi hadits mutawatir. Contoh hadits masyhur (mustafidah) adalah hadits berikut ini, yang artinya:

“Rasulullah SAW bersabda: “Seorang Muslim adalah orang yang kaum Muslimin tidak mengganggu oleh lidah dan tangannya.” (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim, dan Turmudzi)

Hadits di atas sejak dari tingkatan pertama (tingkatan sahabat Nabi) sampai ke tingkat imam-imam yang membukukan hadits (dalam hal ini adalah Bukhari, Muslim, dan Turmudzi) diriwayatkan oleh tidak kurang dari tiga rawi dalam setiap tingkatan.

b)     Hadits ‘Aziz

‘Aziz menurut bahasa, berarti yang mulia atau yang kuat dan juga berarti jarang. Hadits ‘aziz menurut bahasa berarti hadits yang mulia atau hadist yang kuat atau hadits yang jarang, karena memang hadits ‘aziz itu jarang adanya. Para ulama memberikan batasan yaitu hadist ‘aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, kendati dua rawi itu pada satu tingkatan saja, dan setelah itu diriwayatkan oleh banyak rawi.

Berdasarkan batasan di atas, dapat dipahami bahwa bila suatu hadits pada tingkatan pertama diriwayatkan oleh dua orang dan setelah itu diriwayatkan oleh lebih dari dua rawi maka hadits itu tetap saja dipandang sebagai hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan karena itu termasuk hadits ‘aziz. Contoh hadits aziz adalah hadits berikut ini, yang artinya:

“Rasulullah SAW bersabda: “Kita adalah orang-orang yang paling akhir (di dunia) dan yang paling terdahulu di hari qiamat.” (Hadist Riwayat Hudzaifah dan Abu Hurairah)

Hudzaifah dan abu hurairah yang dicantumkan sebagai rawi hadits tersebut adalah dua orang sahabat Nabi, walaupun pada tingkat selanjutnya hadits itu diriwayatkan oleh lebih dari dua orang rawi, namun hadits itu tetap saja dipandang sebagai hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan karena itu termasuk hadits ‘aziz.

c)      Hadits Gharib

Gharib, menurut bahasa berarti jauh, terpisah, atau menyendiri dari yang lain. Hadits gharib menurut bahasa berarti hadits yang terpisah atau menyendiri dari yang lain. Para ulama memberikan batasan sebagai berikut: hadits gharib adalah hadist yang diriwayatkan oleh satu orang rawi (sendirian) pada tingkatan maupun dalam sanad. Dari segi istilah ialah Hadits yang berdiri sendiri seorang perawi di mana saja tingkatan (thabaqah) dari pada beberapa tingkatan sanad.

Berdasarkan batasan tersebut, maka bila suatu hadits hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat Nabi dan baru pada tingkatan berikutnya diriwayatkan oleh banyak rawi, hadist tersebut tetap dipandang sebagai hadist gharib.

Contoh hadits gharib itu antara lain adalah hadist berikut, yang artinya:

“Dari Umar bin Khattab, katanya: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Amal itu hanya (dinilai) menurut niat, dan setiap orang hanya (memperoleh) apa yang diniatkannya.” (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim dan lain-lain)

3)      Kedudukan Hadits Ahad

Bila hadits mutawatir dapat dipastikan sepenuhnya berasal dari Rasulullah SAW, maka tidak demikian hadits ahad . Hadist ahad tidak pasti berasal dari Rasulullah SAW, tetapi diduga ( zhanni dan mazhnun) berasal dari beliau. Dengan ungkapan lain dapat dikatakan bahwa hadits ahad mungkin benar berasal dari Rasulullah SAW, dan mungkin pula tidak benar berasal dari beliau.

Karena hadits ahad itu tidak pasti (hgairu qath’i atau ghairu maqthu’), tetapi diduga (zhanni atau mazhnun) berasal dari Rasulullah SAW, maka kedudukan hadits ahad, sebagai sumber ajaran Islam, berada dibawah kedudukan hadits mutawatir. Lain berarti bahwa bila suatu hadits, yang termasuk kelompok hadits ahad, bertentangan isinya dengan hadits mutawatir, maka hadits tersebut harus ditolak.

  1. Pembagian Hadits Berdasarkan  Kualitas Rawi

Hadits dari segi kualitasnya terbagi menjadi dua macam yaitu hadits maqbul dan hadits mardud. Adapun hadits maqbul ialah hadits yang unggul pembenaran pemberitaanya, dalam hal ini hadis maqbul ialah hadits yang mendapat dukungan bukti-bukti dan membuat unggul itu adalah dugaan pembenaran. Sedangkan hadits mardud ialah hadits yang ditolak atau tidak diterima, jadi hadits mardud ialah ialah hadits yang tidak unggul pembenaran dan pemberitannya.

  1. A.    Hadits Shahih
  2. Pengertian hadits shahih

Kata shahih berasal dari bahasa arab as-shahih bentuk pluralnya ashihha’ berakar kata pada shahha, yang berarti selamat dari penyakit. Para ulama mengatakan hadits shahih hadits yang sanadnya tersambung dikutip oleh orang yang adil lagi cermat dari yang sama, sampai berakhir pada Rasulullah SAW. atau Sahabat atau Tabi’in bukan hadits yang syadz (kontroversial) dan terkena ‘illat yang cacat pada penerimaannya. Hadits sahih adalah hadits yang bersambung sampai kepada nabi Muhammad serta didalam hadits tersebut tidak terdapat kejanggalan dan cacat.

  1. Kriteria hadits shahih

Sebuah hadits dikatakan sahih apabila memenuhi kriteria yang meliputi:

a)      Sanadnya bersambung ialah sanadnya bersambung sampai ke musnad, dalam sifat disebut hadits yang muttashil dan mausul (yang bersambung),

b)      Seluruh periwayat dalam sanad hadits sahih bersifat adil adalah periwayat yang memenuhi syarat-syarat yaitu beragama Islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama, memelihara kehormatan diri,

c)      Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabith, ialah memiliki ingatan dan hafalan yang sempurna. Dia memahami dengan baik apa yang diriwayatkannya serta mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja di kehendaki,

d)     Sanad dan matan hadits yang sahih itu terhindar dari syadz, dan

e)      Sanad dan matan hadis terhindar dari i’llat. I’llat adalah sifat tersembunyi yang mengakibatkan hadits tersebut cacat dalam penerimaannya, kendati secara lahiriah hadits tersebar dari ‘illath.

Contoh hadits shahih: Dari Abu Hurairah r.a. beliau berkata: Rasulullah s.a.w. bersabda: “Setiap sendi tubuh badan manusia menjadi sedekah untuknya pada setiap hari matahari terbit, kamu melakukan keadilan diantara dua orang yang berselisih faham adalah sedekah kamu membantu orang yang menaiki kenderaan atau kamu mengangkat barang-barang untuknya kedalam kenderaan adalah sedekah, Perkataan yang baik adalah sedekah, setiap langkah kamu berjalan untuk menunaikan solat adalah sedekah dan kamu membuang perkara-perkara yang menyakiti di jalan adalah sedekah.” (H.R Bukhari dan Muslim)

Sumber-sumber hadits-hadits sahih adalah kitab-kitab yang memuat hadits sahih yaitu antara lain:

a)      Al-Muawaththa ialah kitab hadis yang pertama yang disusun oleh Imam Malik (93- 179H/712- 798 M).

b)      Al-Jami’ As-Shahih Al-Bukhari merupakan kitab hadits terbaik yang disususn oleh Imam Abu Abdullah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Al-Mughirah Ibn Birdizbah (194-256H).

c)      Sahih muslim adalah kitab hadits shahih yang menempati posisi ke dua setelah sahih bukhari kita yang disusun oleh Imam Muslim Ibn Al-Hajaj Al-Qusyairy An-Nasisabury (206-261H).

d)     Sahih ibn Huzaimah adalah kitab hadits sahih yang disusun oleh abu abdullah ibn abu bakar Al-huzaimah yang wafat pada 313 didalam kitab ini memuatt kitab hadits yang belum tercover dalam kitab Al-Bukhari

e)      Sahih Ibn-Hibban adalah kitab sahih yang di tulis oleh Abu hatim Muhammad Ibn-Hibban (354 H).

  1. Pembagian hadits shahih

Hadits sahih terbagi dua bagian, yaitu

a)      Hadits sahih lidzatih

Hadits hadzatih adalah hadits yang karena kehadiran dirinya sendiri telah memenuhi kelima kriteria hadits sahih sebagaimana  dikemukakan di atas, seperti hadis yang berbunyi, (orang islam adalah orang yang tidak mengganggu muslim-muslim lainnya, baik dengan lidah maupun tangannya, dan orang berhijrah itu adalah orang yang pindah dari apa yang dilarang oleh Allah).

Hadits ini antara lain diriwayatkan oleh Bukhari dengan sanad antara lain oleh, adam Ibn Iyas, Syu’bah, Ismail Ibn Safar, Al-Sya’by, Abdullah Ibn Amir Ibn Ash. Rawi dan sanad Al-Bukhari memenuhi kriteri Hadits lidzatih.

b)      Hadits sahih lighairih

Adalah hadits yang sahihnya lantaran di bantu oleh keterangan yang lain jadi disimpulkan belum sampai kepada kualitas sahih, kemudian ada petunjuk atau dalil lain yang menguatkannya sehingga hadits tersebut meningkat menjadi hadits sahih lighairih.

  1. Kehujjahan

Ibnu Hazm al- Dhahiri menetapkan bahwa hadits sahih memfaedahkan ilmu qath’i dan wajib diyakini dengan demikian hadits sahih dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu akidah, yang perlu di fahamai bahwa martabat hadis sahih ini tergantung kedhabitannya dan keadilan perawinya, dan semakin dhabit dan adil siperawinya makin tinggi pula tingkatan kualitas hadits yang diriwayatkannya. Maka dapat di simpulkan bahwa hadits sahih sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi kedudukannya dari hadits hasan dan dho’if, tetapi berada dibawah kedudukan hadits mutawatir. Semua ulama sepakat menerima hadits sahih sebagai sumber ajaran Islam atau hujjah, dalam bidang hukum dan moral. Tetapi, sebagian ulama menolak kehujjahan hadits sahih dalam bidang aqidah, sebagian lagi dapat menerima, tetapi tidak mengkafirkan mereka yang menolak.

  1. B.     Hadits Hasan
  1. Pengertian

Hasan berarti yang baik, yang bagus, jadi hadits hasan adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil yang rendah daya hafalnya tetapi tidak rancu dan tidak bercacat.  Hadis hasan ialah hadits yang mutttasil sanadnya diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit ttetapi kadar kedhabitannya di bawah kedhabittan hadis sahih dan hadits itu tidak syadzdan tidak pula terdapat ‘illat.

  1. Kriteria hadits hasan

Hadits hasan juga mempunyai kriteria yaitu:

a)      Sanadnya bersambung,

b)      Para periwayat bersifat adil,

c)      Diantara orang periwayat terdapat orang yang kurang dhabith,

d)     Sanad dan matan hadits terhindar dari kejanggalan, dan

e)      Tidak ber-illat (cacat).

  1. Pembagian hadits hasan

a)      Hasan lidzatih

Adalah hadits yang mencapai derajat hasan dengan sendirinya sedikitpun tidak ada dukungan dari hadits lain dan kalau ada hanya di sebut hadits hasan maka yang dimaksud adalah hadits lidzatih.

b)      Hadits hasan lighairih adalah hadits yang pada asalnya adalah hadits dhaif yang kemudian meningkat derajatnya menjadi hasan karena ada riwayat lain yang mengangkatnya.

Contoh hadits hasan: sekiranya aku tidak memberatkan umatku, tentu kuperintahkan mereka bersiwak menjelang setiap sholat, matan hadits ini memiliki jalur sanad, Muhammad bin Amr, dari Abi Salamah, dari Abu Hurairah dari Rasulullah SAW. dan Muhammad bin Amr diragukan hafalan, kekuatan ingatan dan kecerdasannya meskipun banyak yang menganggapnya terpecaya hadits ini bersifat hasan lizatih dan sahih lighairih, karena diriwayatkan pula oleh guru muhammad dan dari gurunya lagi hadits itu diriwayakan pula oleh Abu Hurairah oleh banyak orang diantaranya al-A’raj bin Hurmuz dan Sa’id al-Maqbari. At- Tarmizi ia adalah orang yang pertama kali mengeluarkan hadits hasan.

Meskipun ada hadits dahif yang meningkat menjadi hadis hasan tidak semua hadits dhaif bisa meningkat menjadi hadits hasan, hadits dhaif yang bisa meningkat menjadi hadits hasan adalah hadits-hadits yang tidak terlalu lemah seperti hadits maudhu, matruk, dan munkar derajatnya bisa lebih meningkat, jika hadits diriwayatkan oleh periwayat yang dhaif karena banyaknya kesalahan atau karena mufsiq maka ia bukanlah hadits hasan lighairih. Sebaliknya hadits daif yang diriwayatkan oleh periwayat yang dhaif karena fasiq atau di tuduh berdusta lalu ada hadits yang juga diriwayatkan oleh  periwayat yang kualitasnya sama maka hadits itu bukan hanya tidak bisa naik derajatnya menjadi hasan melainkan justru hadits itu bertambah dhaif.

  1. Kehujjahan

Hadits hasan dapat di gunakan sebagai berhujjah dalam menentapkan suatu kepastian hukum dan ia harus diamalkan baik hadits hasan lidzatih maupun  hasan lighairih, al- Khattabi mengungkapkan bahwa atas hadits hasanlah berkisar banyak hadits karena kebanyakan hadits tidak mencapai tingkatan sahih, hadis ini kebanyakan diamalkan oleh ulama hadits.

  1. C.    Hadits Dhaif 
  1. Pengertian

Secara bahasa, hadits dhaif berasal dari kata dhu’fun berarti hadits yang lemah. Para ulama memiliki dugaan kecil bahwa hadits tersebut berasal dari Rasulullah SAW. Secara terminologi hadits dhaif adalah suatu hadits yang tidak terdapat ciri-ciri ke sahihan dan kehasanan suatu hadits, sahih tidaknya suatu hadits merupakan hasil peninjaun dari sisi di terima atau ditolaknya suatu hadits, oleh karena itu hadis ini terdapat sesuatu yang di dalamnya tertolak yang tidak terdapat ciri-ciri di terimanya hadits ini.

  1. Kriteria hadits dhaif

Adapun ciri-ciri hadits daif ialah;

a)      Periwatnya seorang pendusta atau tertuduh pendusta,

b)      Banyak membuat kekeliruan,

c)      Suka pelupa,

d)     Suka maksiat atau fasik,

e)      Banyak angan-angan,

f)       Menyalahi periwayat kepercayaan,

g)      Periwayatnya tidak di kenal,

h)      Penganut bid’ah bidang aqidah, dan

i)        Tidak baik hafalannya.

Dan yang kemungkinan besar merupakan hadits dho’if adalah hadits yang diriwayatkan secara bersendirian oleh ‘Uqaili, Ibn ‘Adi, Khatib Al Baghdadi, Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh-nya, Adailami dalam Musnad Firdaus, atau Tirmidzi Al Hakim dalam Nawadirul Ushul dan beliau bukanlah Tirmidzi penulis kitab Sunan atau Hakim dan Ibnu Jarud dalam Tarikh keduanya.

Contoh hadits dhaif adalah: “ Bahwasannya Rasul wudhu dan beliau mengusap kedua kaos kakinya”. Hadits ini dikatakan dhaif karena diriwayatkan dari Abu Qais al-Audi, seorang rawi yang masih dipersoalkan.

  1. Pembagian hadits dhaif

Hadist dhaif dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu:

a)      Hadits dhaif karena gugurnya rawi dalam sanadnya, dan

b)      Hadits dhaif karena adanya cacat pada rawi atau matan.

  1. Kehujjahan

Khusus hadits dhaif, maka para ulama hadits kelas berat semacam Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits dhaif boleh digunakan, dengan beberapa syarat:

a)      Level kedhaifannya tidak parah. Hadits dhaif itu sangat banyak jenisnya dan banyak jenjangnya, dari yang paling parah sampai yang mendekati shahih atau hasan. Maka menurut para ulama, masih ada di antara hadits dhaif yang bisa dijadikan hujjah, asalkan bukan dalam perkara aqidah dan syariah (hukum halal haram). Hadits yang level kedhaifannya tidak terlalu parah, boleh digunakan untuk perkara fadahilul a’mal (keutamaan amal).

b)      Berada di bawah nash lain yang shahih. Maksudnya hadits yang dhaif itu kalau mau dijadikan sebagai dasar dalam fadhailul a’mal, harus didampingi dengan hadits lainnya. Bahkan hadits lainnya itu harus shahih. Maka tidak boleh hadits dha’if jadi pokok, tetapi dia harus berada di bawah nash yang sudah shahih.

c)      Ketika mengamalkannya, tidak boleh meyakini ke-tsabit-annya. Maksudnya, ketika kita mengamalkan hadits dhaif itu, kita tidak boleh meyakini 100% bahwa ini merupakan sabda Rasululah SAW atau perbuatan beliau. Tetapi yang kita lakukan adalah bahwa kita masih menduga atas kepastian datangnya informasi ini dari Rasulullah SAW.

  1. D.    Hadits Maudhu
  1. Pengertian

Menurut etimologi kata maudhu dari kata diletakakan, dibiarkan, digugurkan, ditinggalkan dan dibuat-buat, sedangkan menurut terminologi hadits maudhu ialah sesuatu yang disandarkan kepada rasul secara mengada-ada dan bohong dari apa yang di katakan beliau atau tidak dilakukan dan atau tidak di setujui.Menurut Jalaluddin Suyuthi bahwa hadits maudhu adalah hadis yang di buat-buat oleh para pendusta dan menyandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Di katakan juga dengan hadits palsu, para pemalsu hadits membuat suatu matan dengan kemauannya sendiri dengan rangkain muatiara yang indah kalimat yang lengkap dan pribahasa yang padat penuh arti, kemudian disusun dengan rangkaian sanad yang seolah mutasil sampai kepada nabi Muhammad SAW.

  1. Pembagian hadits maudhu

Hadits ini hukumnya bathil dan haram meriwayatkannya, kecuali untuk mengajar untuk mengetahui hadis maudhu, ada beberapa macam hadits maudhu yaitu, Seseorang mengatakan dengan sesuatu yang sebenarnya keluar dari dirinya sendiri kemudian dia meriwayatkannya dengan menghubungkan kepada Rasulullah SAW, seseorang mengambil perkataan dari sebagian ahli fiqh atau lainnya kemudian ia menghubungkannya dengan nabi Muhammad SAW, juga seseorang melakukan kesalahan dalam meriwayatkan suatu hadits dengan tidak ada unsur kesengajaan mendustakan nabi seperti Habib bin Musa Al-Zahid dalam haditsnya menyatakan barang siapa banyak shalatnya dimalam hari wajahnya indah berseri di siang hari.

Hadis ini dimulai sejak tahun 41 H pada masa pemerintahan Khalifah keempat ketika muslim saling bersellisih antara kaum khawarij dengan kaum Syiah mereka banyak mengarang hadits untuk keperluannya sendiri inilah pendorong terjadinya pemalsuan hadits pada berbagai masa orang-orang suka menurutkan hawa nafsu terus menerus untuk berbohong.Hammad bin Zaid telah memalsukan tak kurang dari 14.000 hadits palsu dan telah beredar dan Abdul Karim bin Abi Al-Auja telah memalsukan 4000 hadits mengatakan  adapun yang melatar belakangi munculnya hadits palsu ini adalah :

a)      Untuk menimbulkan kerusuhan didalam agama yang dilakukan oleh orang –orang munafik,

b)      Untuk mempertahankan pendapatnya sementara tidak ada dalil yang mengetengahkan yang dilakukan oleh abu al- khathtthab bin Dihyah dan Abdu  al- Aziz bin Haris al- hanbali,

c)      Untuk menarik perhatian dalam berpidato dan dalam pembicaraan dan simpatti orang yang menamakan dirinya Zuhud,

d)     Untuk mempertahankan mahzabnya seperti yang dilakukaukan oleh golongan Khattabiyah dari Aliran Rafidhah,

e)      Untuk mendekatkan diri kepada raja-raja atau pejabat  dengan membuat hadis maudhu yang cocok dengan program dan tujuan mereka, dan

f)       Untuk mencari rezeki dengan membuat haditts-hadits maudhu  seperti yang dilakukan oleh pencerita-cerita seperti yang dilakukan oleh Abu Said al- madaini.

  1. Kriteria hadits maudhu

Hadits maudhu dapat di ketahui dari segi sanadnya dan matannya, jika dilihat dari sanadnya dari kaum zindiq, munafik atau seorang pendusta dari segi matannya dapat dilihat dari ciri-ciri yang meliputi:

a)      Susunan lafalnya kacau,

b)      Maknanya rusak,

c)      Bertentangan dengan nas Al-Qur’an yang tidak dapat dilakukan penakwilan,

d)     Bertentangan dengan hadis mutawatir,

e)      Bertentangan dengan aqidah umum baik dengan Al-Qur’an amupun sunnah, dan

f)       Pembuatnya sendiri bahwa ia telah membuat hadis palsu.

 

BAB III

PENUTUP

  1. A.    Simpulan

Demikian hadits dilihat dari kuantitas jumlah para perawi yang dapat menunjukkan kualitas bagi hadits mutawatir tanpa memerisa sifat-sifat para perawi secara individu, atau menunjukan kualitas hadits ahad, jika disertai pemeriksaan memenuhi persyaratan standar hadits yang makbul.

Hadits ahad masih memerlukan barbagai persyaratan yaitu dari segi sifat-sifat kepercayaan para perawi atau sifat-sifat yang dapat mempertanggungjawabkan kebenaran berita secara individu yaitu sifat keadilan dan ke dhabithan, ketersambungan sanad dan ketidakganjilannya. Kebenaran berita hadits mutawatir secara absolute dan pasti (qath’i), sedangkan kebenaran berita yang dibawa oleh hadits ahad bersifat relative ( zhanni ) yang wajib diamalkan.

Dalam kehidupan sehari-hari seseorang dalam melaksanakan Islam tidak lepas dari zhan dan itu sah-sah saja, misalnya menghadap ke kiblat ketika shalat, pemeraan air mandi janabah pada seluruh anggota badan, masuknya waktu imsak dan fajar bagi orang yang berpuasa, dan lain-lain.

Pengertian zhan tidak terpaut dengan syakk (ragu) dan juga tidak terpaut dengan waham. Zhan diartikan dugaan kuat (rajah) yang mendekati kepada keyakinan, sedangkan Syakk diartikan dugaan yang seimbang antara ya dan tidak sedang waham adalah dugaan lemah (marjuh).

  1. B.     Saran

Dengan mengetahui beberapa definisi dan penjelasan dari pembagian hadits di atas, di harapkan kita paham dan mengerti, sehingga dalam penentuan hukum dari suatu massalah, yang khususnya dari hadits dapat di peroleh kejelasan yang pasti akan hukum tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Khon, A. M. (2008). Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah.

Mudzakir, M. (1998). Ulumul Hadis. Bandung: CV Pustaka Setia.

Rahman, F. (1974). Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Bandung: PT Alma’arif.

Al-Nawawi, I. (2001). Dasar-Dasar Ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus.

As-Shalih, S. (1997). Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. Pustaka Firdaus: Jakarta.

Ismail, M. S. (1994). Pengantar Ilmu Hadis. Bandung: Angkasa.

*jangan lupa komentarnya ya akh….”

 

  1. Alhamdulillah, dan syukran, bermanfaat sekali untuk kita yang mencari pengetahuan tentang ilmu hadist.

  2. mohon izin ya,, makalahnya buat reprensi,,,,

  3. ijin copy ya, untuk referensi..syukron

  4. makasih atas informasinya ya…

Tinggalkan Balasan ke Mimi Batalkan balasan